Semarang, 7 Desember 2025 – Isu kesehatan mental perempuan di era kontemporer, yang sering tersembunyi di balik tanggung jawab domestik dan publik, menjadi sorotan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Kampus 4 UPGRIS Jalan Gajah Raya Semarang, penyelenggara oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Mengusung tema “Menyingkap Beban Ganda dan Trauma: Eksplorasi Mendalam Kesehatan Mental Perempuan,”.

Ketua Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Semarang Kota ibu Aminah Kurniasih S.Pd., M.Pd. ikut menghadiri acara tersebut dan didampingi oleh lima anggotanya yaitu; ibu Purwanti, Ibu Minang, Ibu Fitri, Ibu Hetty dan Ibu Indah. Acara ini melibatkan anggota DPD RI sebagai penyelenggara; mengundang Masyarakat semarang kota dari Organisasi Perempuan; Praktisi Kesehatan; Aktivis komunitas, mahasiswa, akademisi, media, dan masyarakat umum. Jumlah peserta FGD diperkirakan 150 orang.
Dalam sambutan Ketua PGRI Jawa Tengah Dr. H. Muhdi, S.H., M.Hum.dan juga duduk sebagai anggota DPD RI memperkenalkan satu persatu anggota DPD RI dan memperkenalkan Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai Keynote Speech DPD RI sekaligus membuka acara Focus Group Discussion (FGD). Selanjutnya dalam sambutan yang inspiratif dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Anggota DPD RI, secara tegas menyoroti kondisi perempuan di tengah arus modernisasi. Beliau menekankan bahwa perempuan sering kali harus memikul beban ganda yang signifikan, bukan hanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga, tetapi juga sebagai pekerja profesional yang dituntut berdaya saing tinggi. GKR Hemas menyatakan bahwa situasi ini menciptakan tekanan psikologis yang hebat, menjebak perempuan dalam siklus stres dan kelelahan kronis. Lebih lanjut, GKR Hemas berharap diskusi hari ini harus dibangun, bukan sekadar teoritis, namun mendiskusikan realita di lapangan dan dapat menghasilkan rekomendasi nyata yang bisa kami dorong dalam proses advokasi kebijakan di DPD RI, agar melahirkan payung hukum dan program yang responsif gender.
Setelah sambutan pembuka yang kuat, eksplorasi mendalam dilanjutkan oleh para narasumber. Narasumber yang pertama Mikewati Vera Tangka, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi. Mikewati memaparkan sisi gelap digitalisasi, yakni Trauma dan Kekerasan Digital. Ia menjelaskan bagaimana perempuan menjadi sasaran empuk cyber-bullying, doxing, hingga pelecehan berbasis gender online. Dampak dari kekerasan digital ini bukan hanya mengganggu privasi, tetapi secara serius merusak citra diri, memicu kecemasan, depresi, dan bahkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang sering diabaikan.
Narasumber kedua Dr. Arri Handayani, S.Psi.,M.Si. menekankan kaitan antara beban ganda dengan kerentanan biologis dan risiko trauma. Ketika perempuan menghadapi tuntutan pekerjaan, pengasuhan anak, kewajiban sosial, serta potensi ancaman kekerasan digital, tumpukan stres ini memicu respons tubuh yang dapat mengganggu keseimbangan hormonal. Hasilnya adalah siklus kelelahan, stres kronis, dan peningkatan risiko gangguan mental seperti burnout yang berujung pada menurunnya kualitas hidup secara keseluruhan. Dr. Arri menyarankan dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebaiknya menggunakan Prinsip Dasar Work–Life Harmony yaitu mengatur Keselarasan antara kerja, keluarga, organisasi, dan kebutuhan diri sendiri. Kerja dan kehidupan personal tidak selalu dipisah, tetapi diatur agar saling mendukung. Yang memahami kita adalah diri kita sendiri.
Prof. Dr. Christin Wibhowo, M.Si., Psikolog narasumber ketiga membawakan materi dengan luar biasa membawa susana FGD ceria dan menggembirakan dengan mengawali menyanyikan lagu masa kecil bersama-sama dan ditutup dengan lagu yang sama namun ditambah gerakan anggota badan. Beliau membawa perspektif klinis yang krusial dengan materi berjudul “Memahami Peran Hormon Dalam Mood Disorders”. Hormon tersebut diduga merujuk pada pengaruh hormon terhadap kesehatan mental. Dikupas tuntas bagaimana fluktuasi hormon, seperti selama siklus menstruasi, kehamilan, dan menopause, dapat secara langsung memengaruhi suasana hati dan kerentanan mental perempuan. Pesan utamanya adalah bahwa perubahan emosi pada perempuan sering kali memiliki dasar biologis yang kuat, dan kondisi ini tidak boleh hanya dicap sebagai “sensitif” atau “emosional” semata, melainkan membutuhkan pemahaman dan penanganan yang berbasis ilmu pengetahuan.
FGD ini menghasilkan seruan penting bagi para pemangku kepentingan, terutama DPD RI, untuk mendorong kebijakan yang responsif gender dan mendukung kesehatan mental. Ini mencakup penyediaan layanan psikologis yang terjangkau, edukasi publik untuk menghilangkan stigma, serta regulasi yang lebih tegas terhadap kekerasan digital. Tujuannya adalah memastikan bahwa perempuan memiliki sistem pendukung yang kuat, baik di ranah domestik, profesional, maupun online. FGD ini menegaskan bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya poin kesetaraan gender dan kesehatan yang baik, peran perempuan harus didukung sepenuhnya. Hal ini tidak mungkin tercapai jika kesehatan mental mereka terus-menerus tergerus oleh beban ganda dan trauma.
Sebagai penutup, acara ini menjadi langkah awal yang berharga dalam menggerakkan kesadaran kolektif. Peserta dan narasumber berharap diskusi mendalam ini dapat bertransformasi menjadi tindakan nyata dan kebijakan yang memprioritaskan kesejahteraan mental perempuan, sehingga mereka dapat berpartisipasi penuh dan sehat dalam membangun Indonesia di era kontemporer.
[indah lppakosem]
Views: 5
